Home » Uncategorized » Membuat artikel

Membuat artikel

SUKU BUDAYA BANTEN

Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo(Garna, 1993). Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan gelar Prabu Siliwangi. Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua” Artinya : “jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan“

Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo (Baduy Dalam)
dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan sifat penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapi amanah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.

Versi lain menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai , maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan

Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan Khas sama dengan di kampong Cikeusik yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak bicara (hanya seperlunya), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih (blacu) atau dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua (diatas lutut).

Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan cirri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.

Suku Baduy berasal dari daerah di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda Sebutan bagi suku Baduy terdiri dari:

1.Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu (Kepuunan) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.
2.Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat dibawah pimpinan Puuun (kepala adat).
3.Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.

3 Jenis Pakaian Adat Suku Baduy

Suku Baduy merupakan penduduk asli Propinsi Banten, yang terletak di antara pulau Sumatra, Jawa Barat dan Jakarta dengan pusat pemerintahan berada di kota serang. Ditinjau dari sisi kebudayaan, Banten dan Jawa Barat memiliki banyak kemiripan, salah satunya terdapat pada pakaian adat tradisional Banten. Meski demikian pakaian adat yang dikenakan oleh suku masyarakat Banten tetap memiliki ciri khas tersendiri.

Masyarakat Baduy dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu Baduy dalam dan Baduy luar. Pada dasarnya pakaian adat yang dikenakan oleh keduanya sama, hanya saja pakaian yang dikenakan oleh suku Baduy Dalam berwarna putih sebagai perlambang kesucian, sementara pakaian yang dikenakan suku Baduy Luar berwarna hitam. Untuk memenuhi kebutuhan sandangnya masyarakat suku Baduy melakukan penanaman biji kapas, memanen, memintal, dan menenun sendiri kain yang digunakan sebagai bahan pakaian.

1.Pakaian Adat Suku Baduy Dalam

Pakaian yang dikenakan oleh kaum pria suku Baduy Dalam berupa baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang. Hal ini dikarenakan penggunaannya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang cukup sederhana yaitu hanya dilubangi pada bagian leher sampai bagian dada, tanpa kerah, tanpa kancing dan tanpa kantong baju. Pembuatan baju adat ini hanya boleh dilakukan dengan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan yang digunakan pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.

Penggunaan baju sangsang ini dipadukan dengan kain sarung berwarna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang dan diikat dengan selembar kain agar tidak terlepas. Ciri khas yang terdapat pada pakaian adat Baduy Dalam adalah penggunaan ikat kepala berwarna putih yang berfunggsi untuk menutup rambut mereka yang panjang. Pemilihan warna putih pada pakaian adat suku Baduy Dalam mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum terpengaruh budaya luar.

2.Pakaian Adat Suku Baduy Luar

Sementara pakaian adat yang dikenakan oleh suku Baduy Luar dikenal dengan nama baju kampret berwarna hitam. Desain bajunya terbelah dua sampai bagian bawah dengan potongan seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai yaitu mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni.

Dilihat dari model ataupun corak busana yang dikenakan, cara berpakaiannya suku Baduy Luar menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. Ciri khas yang terdapat pada pakaian adat Baduy Luar adalah penggunaan ikat kepala berwarna biru tua dengan corak batik.

3.Pakaian Adat Wanita Baduy

Pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan oleh kaum perempuan Baduy Dalam dan Baduy Luar tidak terlalu menunjukkan perbedaan mencolok, mereka menggunakan busana sejenis sarung yang berwarna biru kehitam-hitaman dan dikenakan mulai dari dada sampai bagian tumit. Untuk wanita yang sudah menikah biasanya mereka membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan untuk para gadis harus tertutup. Lain halnya untuk bepergian, pakaian yang dikenakan perempuan Baduy yaitu berupa kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang.

Pakaian Adat Suku Baduy
Bagi masyarakat Baduy pakaian tidak hanya berfungsi melindungi tubuh saja, melainkan sebagai identitas budaya. Tidak heran jika hanya dengan melihat model, potongan dan cara berbusananya saja, secara sepintas orang akan tahu bahwa itu adalah suku Baduy. Mereka mempercayai bahwa pakaian diwariskan oleh nenek moyang mereka untuk dijaga.

Semoga bermanfaat.


Leave a comment

Visitors

free counters

Archives

March 2015
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031