Home » 2016 » March » 23

Daily Archives: March 23, 2016

Pandangan Mengenai LGBT (Dede Kurniawan)

Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) merupakan penyimpangan orientasi seksual yang bertentangan dengan fitrah manusia, agama dan adat masyarakat Indonesia. Menurut wikipedia, lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan. Istilah ini juga merujuk kepada perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara spiritual. Sedangkan Gay adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk merujuk orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual. Sedikit berbeda dengan bisexual, biseksual (bisexual) adalah individu yang dapat menikmati hubungan emosional dan seksual dengan orang dari kedua jenis kelamin baik pria ataupun wanita (kamuskesehatan.com). Lalu bagaimana dengan Transgender? Masih menurut wikipedia, transgender merupakan ketidaksamaan identitas gender seseorang terhadap jenis kelamin yang ditunjuk kepada dirinya. Seseorang yang transgender dapat mengidentifikasi dirinya sebagai seorang heteroseksual, homoseksual, biseksual maupun aseksual. Dari semua definisi diatas walaupun berbeda dari sisi pemenuhan seksualnya, akan tetapi kesamaanya adalah mereka memiliki kesenangan baik secara psikis ataupun biologis dan orientasi seksual bukan saja dengan lawan jenis akan tetapi bisa juga dengan sesama jenis.
Walaupun kelompok LGBT mengklaim keberadaannya karena faktor genetis dengan teori “Gay Gene” yang diusung oleh Dean Hamer pada tahun 1993. Akan tetapi, Dean sebagai seorang gay kemudian meruntuhkan sendiri hasil risetnya. Dean mengakui risetnya itu tak mendukung bahwa gen adalah faktor utama/yang menentukan yang melahirkan homoseksualitas. Perbuatan LGBT sendiri ditolak oleh semua agama bahkan dianggap sebagai perbuatan yang menjijikan, tindakan bejat, dan keji (republika.co.id, 26/01/2016).

Pandangan Islam
Dalam Islam LGBT dikenal dengan dua istilah, yaitu Liwath (gay) dan Sihaaq (lesbian). Liwath (gay) adalah perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan cara memasukan dzakar (penis)nya kedalam dubur laki-laki lain. Liwath adalah suatu kata (penamaan) yang dinisbatkan kepada kaumnya Luth ‘Alaihis salam, karena kaum Nabi Luth ‘Alaihis salamadalah kaum yang pertama kali melakukan perbuatan ini (Hukmu al-liwath wa al-Sihaaq, hal. 1). Allah SWT menamakan perbuatan ini dengan perbuatan yang keji (fahisy) dan melampui batas (musrifun). Sebagaimana Allah terangkan dalam al Quran:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ( ) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ ( )

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (TQS. Al ‘Araf: 80 – 81)
Sedangkan Sihaaq (lesbian) adalah hubungan cinta birahi antara sesama wanita dengan image dua orang wanita saling menggesek-gesekkan anggota tubuh (farji’)nya antara satu dengan yang lainnya, hingga keduanya merasakan kelezatan dalam berhubungan tersebut (Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Juz 4/hal. 51).
Hukum Sihaaq (lesbian) sebagaimana dijelaskan oleh Abul Ahmad Muhammad Al-Khidir bin Nursalim Al-Limboriy Al-Mulky (Hukmu al liwath wa al Sihaaq, hal. 13) adalah haram berdasarkan dalil hadits Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 338), At-Tirmidzi (no. 2793) dan Abu Dawud (no. 4018) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ».

“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan wanita lain”
Terhadap pelaku homoseks, Allah swt dan Rasulullah saw benar-benar melaknat perbuatan tersebut. Al-Imam Abu Abdillah Adz-Dzahabiy -Rahimahullah- dalam Kitabnya “Al-Kabair” [hal.40] telah memasukan homoseks sebagai dosa yang besar dan beliau berkata: “Sungguh Allah telah menyebutkan kepada kita kisah kaum Luth dalam beberapa tempat dalam Al-Qur’an Al-Aziz, Allah telah membinasakan mereka akibat perbuatan keji mereka. Kaum muslimin dan selain mereka dari kalangan pemeluk agama yang ada, bersepakat bahwa homoseks termasuk dosa besar”.
Hal ini ditunjukkan bagaimana Allah swt menghukum kaum Nabi Luth yang melakukan penyimpangan dengan azab yang sangat besar dan dahsyat, membalikan tanah tempat tinggal mereka, dan diakhiri hujanan batu yang membumihanguskan mereka, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Hijr ayat 74:

فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيل.

“Maka kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras”
Sebenarnya secara fitrah, manusia diciptakan oleh Allah swt berikut dengan dorongan jasmani dan nalurinya. Salah satu dorongan naluri adalah naluri melestarikan keturunan (gharizatu al na’u) yang diantara manifestasinya adalah rasa cinta dan dorongan seksual antara lawan jenis (pria dan wanita). Pandangan pria terhadap wanita begitupun wanita terhadap pria adalah pandangan untuk melestarikan keturunan bukan pandangan seksual semata. Tujuan diciptakan naluri ini adalah untuk melestarikan keturunan dan hanya bisa dilakukan diantara pasangan suami istri. Bagaimana jadinya jika naluri melestarikan keturunan ini akan terwujud dengan hubungan sesama jenis? Dari sini jelas sekali bahwa homoseks bertentangan dengan fitrah manusia.
Oleh karena itu, sudah dipastikan akar masalah munculnya penyimpangan kaum LGBT saat ini adalah karena ideologi sekularisme yang dianut kebanyakan masyarakat Indonesia. Sekularisme adalah ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan (fash al ddin ‘an al hayah).
Masyarakat sekular memandang pria ataupun wanita hanya sebatas hubungan seksual semata. Oleh karena itu, mereka dengan sengaja menciptakan fakta-fakta yang terindera dan pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual di hadapan pria dan wanita dalam rangka membangkitkan naluri seksual, semata-mata mencari pemuasan. Mereka menganggap tiadanya pemuasan naluri ini akan mengakibatkan bahaya pada manusia, baik secara fisik, psikis, maupun akalnya. Tindakan tersebut merupakan suatu keharusan karena sudah menjadi bagian dari sistem dan gaya hidup mereka (al Nizham al Ijtima’i fi al Islam, hal. 22). Tidak puas dengan lawan jenis, akhirnya pikiran liarnya berusaha mencari pemuasan melalui sesama jenis bahkan dengan hewan sekalipun, dan hal ini merupakan kebebasan bagi mereka. Benarlah Allah swt berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (TQS Al ‘Araf : 179)

Hukuman Bagi Para Pelaku LGBT
Pemberlakuan hukuman dalam Islam bertujuan untuk menjadikan manusia selayaknya manusia dan menjaga kelestarian masyarakat. Syariat Islam telah menetapkan tujuan-tujuan luhur yang dilekatkan pada hukum-hukumnya. Tujuan luhur tersebut mencakup; pemeliharaan atas keturunan (al muhafazhatu ‘ala an nasl), pemeliharaan atas akal (al muhafazhatu ‘ala al ‘aql), pemeliharaan atas kemuliaan (al muhafazhatu ‘ala al karamah), pemeliharaan atas jiwa (al muhafazhatu ‘ala an nafs), pemeliharaan atas harta (al muhafazhatu ‘ala an al maal), pemeliharaan atas agama (al muhafazhatu ‘ala al diin), pemeliharaan atas ketentraman/keamanan (al muhafazhatu ‘ala al amn), pemeliharaan atas negara (al muhafazhatu ‘ala al daulah) (Muhammad Husain Abdullah, hal. 100).
Dalam rangka memelihara keturunan manusia dan nasabnya, Islam telah mengharamkan zina, gay, lesbian dan penyimpangan seks lainnya serta Islam mengharuskan dijatuhkannya sanksi bagi pelakunya. Hal ini bertujuan untuk menjaga lestarinya kesucian dari sebuah keturunan. Berkaitan dengan hukuman pagi para pelaku LGBT, beberapa ulama berbeda pendapat. Akan tetapi, kesimpulannya para pelaku tetap ahrus diberikan hukuman. Tinggal nanti bagaimana khalifah menetapkan hukum mana yang dipilih sebagai konstitusi negara (al Khilafah).Ulama berselisih pendapat tentang hukuman bagi orang yang berbuat liwath. Diantara beberapa pendapat tentang hukuman bagi pelaku liwath diantaranya:
Pertama, Hukumannya adalah dengan dibunuh, baik pelaku (fa’il) maupun obyek (maf’ul bih) bila keduanya telah baligh. Berkata Al-Imam Asy-Syaukani Rahimahullah dalam “Ad-Darariy Al-Mudhiyah” (hal. 371-372): Adapun keberadaannya orang yang mengerjakan perbuatan liwath dengan dzakar (penis)nya hukumannya adalah dibunuh, meskipun yang melakukannya belum menikah, sama saja baik itu fa’il (pelaku) maupun maf’ul bih. Telah mengkabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad, dari ‘Amr ibnu Abi ‘Amr,dari Ikrimah, dari Ibu Abbas, berkata Rasulullah SAW:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Barangsiapa yang kalian mendapati melakukan perbuatan kaum Luth (liwath), maka bunuhlah fa’il (pelaku) dan maf’ul bih (partner)nya
Kedua, Hukumannya dirajam, hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dari Ali bahwa dia pernah merajam orang yang berbuatliwath. Imam Syafi’y mengatakan: “Berdasarkan dalil ini, maka kita menggunakan rajam untuk menghukum orang yang berbuat liwath, baik itu muhshon (sudah menikah) atau selain muhshon. Hal ini senada dengan Al-Baghawi, kemudian Abu Dawud [dalam “Al-Hudud” Bab 28] dari Sa’id bin Jubair dan Mujahid dari Ibnu Abbas: Yang belum menikah apabila didapati melakukan liwathmaka dirajam (Lihat “Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, hal. 371).
Ketiga, hukumannya sama dengan hukuman berzina. Pendapat ini seperti ini disampaikan oleh Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abi Rabbah, Hasan, Qatadah, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Imam Yahya dan Imam Syafi’i (dalam pendapat yang lain), mengatakan bahwa hukuman bagi yang melakukan liwath sebagaimana hukuman zina. Jika pelaku liwath muhshon maka dirajam, dan jika bukan muhson dijilid (dicambuk) dan diasingkan. [“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, (hal. 371)].
Keempat, hukumannya dengan ta’zir, sebagaimana telah berkata Abu Hanifah: Hukuman bagi yang melakukan liwath adalah di-ta’zir, bukan dijilid (cambuk) dan bukan pula dirajam [“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, (hal. 372)]. Abu Hanifah memandang perilaku homoseksual cukup dengan ta‘zir. Hukuman jenis ini tidak harus dilakukan secara fisik, tetapi bisa melalui penyuluhan atau terapi psikologis agar bisa pulih kembali. Bahkan, Abu Hanifah menganggap perilaku homoseksual bukan masuk pada definisi zina, karena zina hanya dilakukan pada vagina (qubul), tidak pada dubur (sodomi) sebagaimana dilakukan oleh kaum homoseksual. (Ahkam As-Syar’iyyah, Darul Ifaq Al-Jadidah).
Sedangkan bagi para pelaku lesbian, hukumannya adalah ta’zir. Al-Imam Malik Rahimahullah berpendapat bahwa wanita yang melakukan sihaq, hukumannya dicambuk seratus kali. Jumhur ulama berpendapat bahwa wanita yang melakukan sihaq tidak ada hadd baginya, hanya saja ia di-ta‘zir, karena hanya melakukan hubungan yang memang tidak bisa dengan dukhul (menjima’i pada farji), dia tidak akan di-hadd sebagaimana laki-laki yang melakukan hubungan dengan wanita tanpa adanya dukhul pada farji, maka tidak ada had baginya. Dan ini adalah pendapat yang rojih (yang benar) [Lihat “Shohih Fiqhus Sunnah” Juz 4/Hal. 51)].
Sebenarnya sanksi yang dijatuhkan di dunia ini bagi si pendosa akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat. Tentu saja hukuman di akhirat akan lebih dahsyat dan kekal dibandingkan sanksi yang dilakukan di dunia. Itulah alasan mengapa sanksi – sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (jawazir) dan penebus (jawabir). Disebut pencegah karena akan mencegah orang lain melakukan tindakan dosa semisal, sedangkan dikatakan penebus karena sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksi di akhirat (Muhammad Husain Abdullah, hal. 159).

Sejarah Awal Pergerakan LGBT
Kriminalisasi pada perilaku seks homoseksual berlangsung terus menerus antara abad 18 dan 19 di Eropa karena homoseksualitas dikategorikan sebagai kejahatan dan perbuatan dosa dan mereka yang melakukannya tidak dimasukkan dalam golongan manusia. Walaupun kecil, pembelaan terhadap orang homoseks mulai bermunculan kala itu.
Istilah Homoseksual sendiri diperkenalkan oleh Karl Maria Kertbeny pada awal abad ke 19 untuk menjelaskan perilaku seksual dari tiga kategori perilaku seksual lain yaitu, monoseksualitas, heteroseksualitas dan heterogen (khusus kepada binatang).
Kemudian pada abad yang sama, tahun 1886, Richard Von Krafft-Ebing, seorang psikiatris dari Austria dalam bukunya Psycophatia Sexualis, the medical-forensic study of sexual abnormalities, menjelaskan tentang “Normal sexuality”, yang selanjutnya istilah ini banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku-perilaku seksual.
Ebing, dalam penjelasannya tentang homoseksualitas mengatakan bahwa orang-orang homoseksual mengalami penurunan fungsi otak yang berpengaruh pada orientasi seksualnya. Penjelasan Ebing ini kemudian diperkuat dengan hasil penelitian Magnus Hirscfeld dalam bukunya “Sappho and Socrates” yang menjelaskan bahwa orang-orang homoseks mengalami perkembangan otak yang berbeda pada saat kanak-kanak. Dia juga menjelaskan bahwa faktor eksternal dapat berpengaruh pada perkembangan otak orang homoseksual dan heteroseksual. Dia juga menolak pengkriminalisasian pada orang-orang homoseks di Jerman pada masa itu sampai Hitler berkuasa.
Pada abad ke 20 di Eropa penjelasan ini digunakan untuk membela LGBT, bahwa orientasi mereka bersifat bawaan. Pada abad yang sama (1825 – 1895), Karl Heinreich Ulrichs, seorang aktivis gay berkembangsaan Jerman yang berjuang untuk membela orang-orang gay, memberikan penjelasan bahwa orang-orang homoseks adalah orang-orang yang memiliki jiwa feminin.
Menurutnya, bahwa laki-laki yang mencintai laki-laki adalah mereka yang berada pada state transitional third sex and gender, “we make up third sex …. we are women in spirit”. Jadi, ketertarikan terhadap sesama jenis karena persoalan perkembangan biologi dan tubuh yang secara mental berkembang dalam dua arah yang berbeda – laki-laki dan perempuan sekaligus. Ini seperti yang juga dikatakan oleh orang-orang transgender laki-laki yang terjebak di dalam tubuh perempuan atau sebaliknya. Ia menggantikan istilah sodomi dengan urning untuk laki-laki (gay) dan urninginuntuk perempuan (lesbian) yang artinya mereka adalah keturunan Uranus. Sementara kaum hetero disebutnya dioning yaitu keturunan Aprodite (salah satu Dewa orang Yunani). Ia pun berjuang secara hukum untuk menolak pengkriminalisasian orang-orang homoseksual saat itu.
Situasi ini, abad 19, perdebatan dan tarik menarik ide tentang homoseksual sebagai perilaku seks yang tidak normal bila dibandingkan dengan perilaku seks heteroseksual terus diperkuat. Penelitian lebih banyak dilakukan oleh para psikiater dan menjelaskan bahwa kategori homoseksual sebagai penyakit mental. Penelitian dan pemeriksaan terhadap orang-orang homoseksual difokuskan pada : Neuroanatomy, Psychoendocrinology, and Genetics. Kemudian psikiatri juga melakukan penelitian bagaimana pengaruh lingkungan terhadap homoseksualitas. Ternyata hasil penelitian ini tidak mampu membuktikan pengaruh tersebut, “… . social and cultural causes—show “small effect size and are causally ambiguous.”. Sampai dengan tahun 1940-an homoseksualitas dibicarakan dalam aspek-aspek persoalan psikologis seperti psikopatologi, paranoid dan gangguan kepribadian dan kecemasan. Oleh karena itu, kemudian terhadap orang-orang homoseksual (dan atau LGBT) para psikiatri dan psikolog berusaha menyembuhkan “penyakit mental” ini.
Alfred Kinsey, seorang ahli serangga, pada 1948 melaporkan hasil penelitiannya tentang perilaku seksual pada Laki-laki, memperlihatkan bahwa homoseksualitas terjadi dengan berbagai latar belakang yang lintas kelas, pendidikan, wilayah dan keluarga. Dan Richard Isay, psikoanalis, mengatakan :
“ Kinsey and his co-workers for many years attempted to find patients who had been converted from homosexuality to heterosexuality during therapy, and were surprised that they could not find one whose sexual orientation had been changed. When they interviewed persons who claimed they had been homosexuals but were now functioning heterosexually, they found that all these men were simply suppressing homosexual behavior. . . and that they used homosexual fantasies to maintain potency when they attempted intercourse. One man claimed that, although he had once been actively homosexual, he had now “cut out all of that and don’t even think of men—except when I masturbate.”
Jadi menurut Kinsey walaupun seorang homoseksual berusaha menyembuhkan dirinya sebenarnya tidak pernah bisa sembuh, yang ada hanyalah mengelola fantasi homoseksual (merepres perilaku homoseksual) untuk berhubungan seks dengan pasangan lawan jenisnya. Dari pernyataan ini Kinsey pun mengakui bahwa homoseksual bukan sesuatu yang bisa disembuhkan. Dari penelitian ini ia membuat sebuah skala yang dikenal dengan nama Skala Kinsey. Skala ini berupa angka dari 0 ( homoseksual ) sampai 6 (heteroseksual). Angka 3 merupakan biseksual.
Salah satu yang unik saat penelitian tersebut, Kinsey dan istrinya mencoba melakukan hubungan seksual dengan sesama untuk melakukan percobaan teori tersebut yang menghasilkan bahwa ada ketidaknyamanan yang muncul dan perasaan yang mengungkapkan bahwa apa yang dilakukanya itu bukan dirinya.
Perkembangan homoseksual tidak lepas dari sejarah seksualitas. Perlakuan dan pemahaman tentang seksualitas juga menjadi landasan bagaimana orang-orang memperlakukan orang homoseksual. Perlakuan ini tidak lepas dari pandangan dan kondisi politik, ideologi, agama, budaya, sosial, hukum dan ekonomi. Sepanjang pengalaman, berdiskusi dan mendengarkan pandangan-pandangan orang lain berbicara tentang LGBT, hal-hal yang disampaikan tentang LGBT tidak lepas dari tarik menarik antara pengetahuan dan keyakinan serta nilai-nilainya tentang LGBT. Sehingga penerimaan dan pengakuan terhadap orang-orang LGBT sangat beragam. Ada yang bisa menerima keadaan itu – bila terjadi pada orang lain- tetapi tidak bisa menerimanya bila terjadi di dalam lingkarannya sendiri, seperti bila ada anggota keluarganya yang LGBT. Ada juga yang langsung menolaknya dan tidak mau melihat kenyataan-kenyataan yang ada disekitarnya dan terus menyalahkan orang-orang LGBT. Penolakan kepada LGBT biasanya cenderung diikuti dengan sikap “menghukum” dan menstigma. Tidak sedikit pula yang homophobia (ketakutan yang berlebihan kepada homoseksualitas) dengan berbagai macam bentuk ekspresinya. Mulai dari kecurigaan sampai dengan memusuhi dan melakukan kekerasan.

Dampak-dampak yang ditimbulkan
Prof. DR. Abdul Hamid El-Qudah, spesialis penyakit kelamin menular dan AIDS di asosiasi kedokteran Islam dunia (FIMA) di dalam bukunya Kaum Luth Masa Kini (hal. 65-71) menjelaskan dampak-dampak yang ditimbulkan sebagai berikut:

Dampak kesehatan
Dampak-dampak kesehatan yang ditimbulkan di antaranya adalah sebagai berikut:
78% pelaku homo seksual terjangkit penyakit kelamin menular (Rueda, E. “The Homosexual Network.” Old Greenwich, Conn., The Devin Adair Company, 1982, p. 53).
Rata-rata usia kaum gay adalah 42 tahun dan menurun menjadi 39 tahun jika korban AIDS dari golongan gay dimasukkan ke dalamnya. Sedangkan rata-rata usia lelaki yang menikah dan normal adalah 75 tahun. Rata-rata usia Kaum lesbian adalah 45 tahun sedangkan rata-rata wanita yang bersuami dan normal 79 tahun (Fields, DR. E. “Is Homosexual Activity Normal?” Marietta, GA).

Dampak sosial
Beberapa dampak sosial yang ditimbulkan adalah sebagai berikut:
Penelitian menyatakan “seorang gay mempunyai pasangan antara 20-106 orang per tahunnya. Sedangkan pasangan zina seseorang tidak lebih dari 8 orang seumur hidupnya.” (Corey, L. And Holmes, K. Sexual Transmissions of Hepatitis A in Homosexual Men.” New England J. Med., 1980, pp 435-438).
43% dari golongan kaum gay yang berhasil didata dan diteliti menyatakan bahwasanya selama hidupnya mereka melakukan homo seksual dengan lebih dari 500 org. 28% melakukannya dengan lebih dari 1000 orang. 79% dari mereka mengatakan bahwa pasangan homonya tersebut berasal dari orang yang tidak dikenalinya sama sekali. 70% dari mereka hanya merupakan pasangan kencan satu malam atau beberapa menit saja (Bell, A. and Weinberg, M.Homosexualities: a Study of Diversity Among Men and Women. New York: Simon & Schuster, 1978).

Dampak Pendidikan
Adapun dampak pendidikan di antaranya yaitu siswa ataupun siswi yang menganggap dirinya sebagai homo menghadapi permasalahan putus sekolah 5 kali lebih besar daripada siswa normal karena mereka merasakan ketidakamanan. Dan 28% dari mereka dipaksa meninggalkan sekolah (National Gay and Lesbian Task Force, “Anti-Gay/Lesbian Victimization,” New York, 1984)

Dampak Keamanan
Dampak keamanan yang ditimbulkan lebih mencengangkan lagi yaitu:
Kaum homo seksual menyebabkan 33% pelecehan seksual pada anak-anak di Amerika Serikat; padahal populasi mereka hanyalah 2% dari keseluruhan penduduk Amerika. Hal ini berarti 1 dari 20 kasus homo seksual merupakan pelecehan seksual pada anak-anak, sedangkan dari 490 kasus perzinaan 1 di antaranya merupakan pelecehan seksual pada anak-anak (Psychological Report, 1986, 58 pp. 327-337).
Meskipun penelitian saat ini menyatakan bahwa persentase sebenarnya kaum homo seksual antara 1-2% dari populasi Amerika, namun mereka menyatakan bahwa populasi mereka 10% dengan tujuan agar masyarakat beranggapan bahwa jumlah mereka banyak dan berpengaruh pada perpolitikan dan perundang-undangan masyarakat (Science Magazine, 18 July 1993, p. 322).

Strategi-strategi dalam Menghadapi LGBT
Mengingat banyak sekali dampak-dampak yang ditimbulkan dari perilaku menyimpang ini, maka diperlukan strategi dalam menghadapi masalah LGBT ini.
Menumbuhkan Kesadaran Individual Pelaku LGBT dengan Mengenal Musuh dan Strategi Melawan Musuh Abadi
Tak dipungkiri bahwa setan menjadi musuh abadi manusia yang akan terus menyesatkan dan menjerumuskan manusia ke dalam lembah kebinasaan.
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu sekali-kali dipalingkan oleh setan; sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Az-Zukhruf: 62)
Cara setan dalam menyesatkan manusia adalah dengan memoles perbuatan maksiat dan jahat sehingga tampak indah dalam pandangan manusia. “Iblis berkata: Ya Rabbi, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, maka pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (Q.S. Al-Hijr: 39)

Pandangan Psikologi Klinis.
Psikologi klinis pada awalnya melihat homoseksualitas sebagai patologi – abnormal, mental illness dan dosa. Pandangan ini berfokus pada tahap-tahap perkembangan dan memeriksanya apakah dalam tahapan itu terjadi penyimpangan-penyimpangan atau tidak. Berbagai pengalaman seksual masa kecil di tracking seperti memberi jejak trauma yang dianggap akan mengubah orientasi seksual seseorang. Lalu perkembangan gender role pun di trackinguntuk memastikan bahwa laki-laki tetap dengan maskulinitas-nya dan perempuan tetap dengan femininitas-nya. Pemeriksaan ini pada akhirnya diarahkan untuk menemukan hal-hal yang patologis sehingga terapi diarahkan pada “penyembuhan” untuk menjadikanya heteroseksual sebagai patologis yang dianggap “Normal”.
Pandangan psikologi klinis ini lebih dipengaruhi oleh Freud tentang pandangannya terhadap homoseksualitas. Freud melihat gay terjadi karena pola asuh dan traumatis terhadap kekerasan dari sang ayah. Keadaan ini dianggap anak laki-laki gagal mendapat figure ayah yang bisa diindentifikasinya sebagai figure laki-laki. Sehingga si anak laki-laki akan cenderung bersikap narsis dan mencintai dirinya sendiri. Lalu hubungan ayah dan ibu cenderung buruk dan ayah melihat si anak laki-laki sebagai saingannya dalam memiliki istrinya.
Para pengikut Freud yang melihat deviasi seksual ini sebagai patologis dan sakit. Walaupun sebenarnya Freud tidak pernah menyebut homosexualitas sebagai abnormalitas dan penyakit. Dalam sebuah suratnya pada tahun 1935, yang ditujukan kepada ibu, surat ini diberi judul “Letter to an American Mother”, menjelaskan bahwa homosexualitas, “ is nothing to be shamed of, no vice, no degradation, it cannot be classified as an illness “. Di dalam surat ini Freud juga menjelaskan bahwa ada banyak contoh orang-orang besar yang juga gay seperti Plato, Michael Angelo, dan Leonardo da Vinci. Pada tahun 1910, Freud pun sudah menjelaskan tentang pandangan homoseksualitas yang dianggap abnormal itu karena, “heterosexuality was the guiding telos of development and ultimately the only “correct decision””.
Dalam berbagai kritik yang ditujukan kepada pandangan psikoanalisis yang melihat homoseksualitas sebagai abnormal dan dosa adalah karena pengetahuan ini juga diikuti dengan ideologi antihomoseksual. Pandangan ini dipengaruhi oleh konteks sejarah Eropa pada saat itu – intelektual yang tradisional, religius dan moralis – dalam memahami homoseksualitas. Selain itu di Eropa Barat pada awal kebangkitan christian era bersikap tidak toleran kepada orang homoseksual. Dan pandangan ini dilihat lebih bersifat dogmatik. Saat itupun tidak banyak penelitian-penelitian yang mengarah pada memahami homoseksualitas tapi penelitian-penelitian lebih diarahkan pada bagaimana menyembuhkan orang homoseksual, sehingga fokus penelitian sendiri sudah memposisikan homoseksualitas sebagai kategori abnormal, penyakit mental yang harus dan bisa disembuhkan.
Freud bahkan juga menegaskan bahwa psikoterapi yang ditujukan kepada orang homoseksual sebaiknya tidak dibayangkan akan bisa disembuhkan karena hal ini dipengaruhi oleh konteks keadaan zaman itu. Dan kritik juga ditujukan pada pandangan ini adalah soal bias budaya. pandangan psikoanalisis yang melihat orang homoseksual seolah universal dan cenderung esensialis. Padahal dalam beberapa budaya di dunia perilaku homoseksual dilihat sebagai hal yang biasa – dan hal ini sebenarnya bisa kita temukan sebelumnya dalam budaya-budaya nusantara -. Sayangnya pandangan dan pemahaman tentang LGBT ini bergeser karena pengaruh gerakan antihomoseksual dan homophobia.

Awal Pergeseran Pandangan Terhadap LGBT
Tahun 1956, Evelyn Hooker, psikolog yang meneliti orang-orang gay. Pada masa itu, umumnya orang gay masih dianggap penyakit dan masih harus berobat ke psikiatris untuk disembuhkan. Penelitian Hooker ini menjadi pioner untuk melihat dan membuktikan bahwa orang gay saat itu tidak patologis. Ia meneliti 2 kelompok – gay dan straight – dengan menggunakan salah satu alat yang disebut Rosrschach Inkblot Test ( test RO – alat pemeriksaan ini biasa digunakan untuk memastikan apakah orang mempunyai sakit mental atau tidak seringkali disebut dengan tes visual dengan memberikan gambar abstrak -Tes Bercak Tinta- dan meminta klien menggambarkankanya sesuai dengan fantasinya). Dan hasil test tersebut diberikan kepada ahli untuk memeriksa dan menemukan orang-orang yang gay. Hasilnya, mereka tidak bisa menemukan hasil test RO yang menyatakan ada orang gay. Dilanjutkan oleh June Hopkins pada tahun 1960 juga meneliti kelompok perempuan lesbian dan perempuan yang tidak lesbian, dan tanda dari yang menunjukkan lesbian dan alat test itu juga tidak terbukti.
Dimulai tahun 1970-an penelitian terkait dengan psikologi dalam memahami orang homoseksual tidak lagi berfokus pada patologis tetapi lebih mengafirmasi keberadaan LGBT. Karena itu, penelitian yang dilakukan adalah melihat bagaimana orang LGBT dengan beragam tema penelitian yang ditujukan untuk lebih memahami dan menerima LGBT, bukan dengan tujuan menghakim dalam ideologi heteronormatif. Penelitian tidak lagi dengan setting psikiatris dan patologis “penyembuhan” tetapi lebih ditujukan pada memahami dan meningkatkan kesejahteraan orang-orang LGBT. Penelitian ini, seperti tentang identitas : bagaimana mengembangkan identitas gay dan lebian (keluar dari homophobia yang sudah diinternalisasi), makna menjadi gay dan lesbian. Lalu tema-tema Relasi, homophobia dan anti diskriminasi pada gay dan lesbian, LGBT parenting, Lifespan development, keragaman etnik dan budaya, pilihan fleksibilitas identitas seksual, dll.
Penelitian yang mengafirmasi LGBT ini juga membawa pengaruh pada perbaikan keadaan psikologis, sosial, ekonomi, hukum, politik dan spiritual orang-orang LGBTIQ. Gerakan-gerakan politik LGBT mulai terjadi dimana-mana, sejak peristiwa Stone Wall 1969 yang berdampak pada gay liberation. Begitu pula pengetahuan yang menguatkan keberadaan LGBTIQ ini mendorong keberanian untuk mulai membela hak-hak mereka.
Kemudian tahun 1973, APA (American Psychiatric Association) kategori homoseksual dikeluarkan dari kategori abnormal dalam DSM III.

LGBT: Periode HIV
Tahun 1980-an , kasus HIV mulai ditemukan. kasus-kasus awal ditemukan pada orang-orang gay. Penyakit yang awalnya dianggap sebagai “kutukan” kepada orang gay ini kemudian membuat dunia semakin membuka mata dan bersikap terbuka kepada gay. Apalagi HIV kemudian bukan lagi menulari orang homoseks saja tetapi juga orang-orang waria, heteroseks dan bahkan anak bayi yang baru dilahirkan pun bisa terinfeksi HIV. Dari isu “kutukan”, “akibat dosa” berubah menjadi memahami homoseksualitas dengan kaca mata keragaman. Dan bukan lagi melihat homoseksualitas sebagai kelompok yang spesifik berdiri sendiri tetapi melihatnya sebagai bagian dari masyarakat dan warga dunia.
HIV juga tidak lagi dipahami secara spefisik milik orang-orang gay dengan pendekatan biologis medis tetapi juga melihat dari persoalan keadilan sosial, hukum, hak asasi, politik, ekonomi, pendidikan, agama dan budaya. Jadi persoalan HIV ini juga mendorong keberanian orang-orang untuk secara bersama-sama dengan orang-orang LGBTI bergerak dan saling memahami secara bersama-sama dalam gerakan kemanusian.

LGBT dan Sejarah Indonesia
Budaya nusantara mengenal LGBTI dengan beragam sebutan lokal seperti wandu, banci, tomboi (Jawa), warok dan gemblakan (di Ponorogo), Bissu, calalai, calabai, panter, lines (Bugis, Makasar), dan lain-lain. Pada awalnya keberadaan mereka secara terbuka diterima oleh masyarakat dan tidak dimusuhi. Keadaan ini bergeser mengikuti sejarah Indonesia. Sejarah kolonial Hindia Belanda yang konservatif –viktorian – mempengaruhi bagaimana orang-orang LGBTI ini dilihat dan dikategorikan. Selain itu sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia pun turut serta mempengaruhi posisi orang-orang LGBTI di dalam masyarakat. Bila pada budaya-budaya tertentu memberikan ruang yang cukup prestisius kepada Bissu dan lainnya maka dengan perubahan waktu dan berkembangnya berbagai ideologi lain, maka posisi-posisi inipun turut bergeser.
Bila dulu orang terbuka dan menerima keberadaan LGBT dengan beragam bentuk, sekarang justru orang cenderung memperlakukannya sebagai “satu kelompok kategori” yang sama. Seolah orang LGBT adalah satu kelompok homogen yang sakit mental dan harus disembuhkan dan ditobatkan karena mereka adalah kumpulan orang yang “berdosa”. Padahal situasi psikologis orang-orang LGBT tidak bisa disamakan dan digeneralisir.
Memang self stigma masih ada terjadi pada orang-orang LGBTIQ tetapi hal ini tidak bisa secara “buta” dianalisis dengan sederhana sebagai ego distonic homoseksuality. Secara psikologis dan lintas budaya, kita perlu memahami bagaimana proses internalisasi homophobia terjadi pada orang-orang LGBTIQ dan bagaimana hal ini juga bisa menimbulkan trauma yang bersifat kronis. Trauma ini bisa terjadi langsung dan atau vicarious traumatization (trauma karena terpapar cerita dan melihat orang lain yang trauma) kepada orang-orang LGBTIQ yang biasa dikelilingi dengan pengalaman kekerasan, diskriminasi, stigma, dan bahkan pembunuhan. Ragam efek trauma ini bisa bermacam-macam, mulai dari meyakini “ilusi positif”[1] dengan menghukum diri sendiri, seperti “aku LGBTI – buruk, dosa (self stigma) sehingga pantas mendapat hukuman (membiarkan diri mengalami berbagai kekerasan) dan sulit untuk membela diri (melihat diri secara positif). Jadi memahami persoalan LGBTIQ yang menstigma diri sendiri mesti dilihat bukan dari soal psikologis saja, tetapi konteks situasi dan kondisinya (budaya dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya) menjadi sangat penting untuk dianalisis juga. Bagaimanapun kondisi psikologis seseorang –siapapun mereka – sangat kontekstual. Apalagi Indonesia memiliki berbagai macam bentuk keragaman seperti kelas, agama, budaya, gender, pendidik, dll.
Pada akhirnya, perkembangan homoseksualitas di Indonesia tidak lepas dari gerakan homoseksual di berbagai level baik ditingkat global, regional, nasional dan lokal. Juga gerakan ini beririsan dengan isu lainnya seperti politik, hukum, budaya, sosial dan agama.

Kesimpulan
Perlu menjadi kesadaran bagi umat Islam di Indonesia, bahwa LGBT merupakan penyimpangan orientasi seksual yang dilarang oleh semua agama terlebih lagi Islam. Selain karena perbuatan keji ini akan merusak kelestarian manusia, yang lebih penting Allah swt dan Rasulullah melaknat perbuatan kaum Nabi Luth ini. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk melawan segala jenis opini yang seolah atas nama HAM membela kaum LGBT akan tetapi sesungguhnya mereka membawa manusia menuju kerusakan yang lebih parah.
Disinilah urgensitas penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Islam dengan seperangkat aturan dan konsep dalam mengatur hubungan diantara pria dan wanita. Aturan Islam akan senantiasa membentuk ketaqwaan individu, memberi dorongan kepada masyarakat untuk saling menasihati dan menciptakan lingkungan Islami serta negara yang menindak tegas para pelaku LGBT sebagai fungsi pencegah dan penebus

Visitors

free counters

Archives

March 2016
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031